NAMA : FIONA CHANDRADEWI
KELAS : 3PA01
NPM : 12510789
Transmisi Budaya dan Biologis serta Awal Perkembangan dan Pengasuhan
Mengenai kebudayaan sebenarnya sudah kita pelajari sejak masih di dalam kandungan. Setiap daerah memiliki kebudayaan masing-masing dan ketika berkumpul di satu pulau dan negara, mereka membawa kebudayaannya masing-masing. Di samping itu, ada juga kebudayaan yang berasal dari luar. Dan dari itu, kita dapat mempelajari dan memahami berbagai macam kebudayaan melalui transmisi budaya. Beberapa bentuk transmisi budaya, antara lain :
1. Sosialisasi adalah
sebuah proses penanaman atau transfer kebiasaan atau nilai dan aturan dari satu generasi ke generasi lainnya dalam sebuah kelompok atau masyarakat.
Sejumlah sosiolog menyebut sosialisasi sebagai teori mengenai peranan (role theory). Karena dalam proses sosialisasi diajarkan
peran-peran yang harus dijalankan oleh individu. Berikut merupakan proses
sosialisasi menurut beberapa tokoh :
a.
George Herbert Mead
George
Herbert Mead berpendapat bahwa sosialisasi yang dilalui seseorang dapat
dibedakan menlalui tahap-tahap sebagai berikut.
Tahap persiapan (Preparatory Stage)
Tahap ini dialami sejak manusia
dilahirkan, saat seorang anak mempersiapkan diri untuk mengenal dunia
sosialnya, termasuk untuk memperoleh pemahaman tentang diri. Pada
tahap ini juga anak-anak mulai melakukan kegiatan meniru meski tidak sempurna. Contoh:
Kata "makan" yang diajarkan ibu kepada anaknya yang masih balita
diucapkan "mam". Makna kata tersebut juga belum dipahami tepat oleh
anak. Lama-kelamaan anak memahami secara tepat makna kata makan tersebut dengan
kenyataan yang dialaminya.
Tahap meniru (Play Stage)
Tahap ini ditandai dengan semakin sempurnanya
seorang anak menirukan peran-peran yang dilakukan oleh orang dewasa. Pada
tahap ini mulai terbentuk kesadaran tentang anma diri dan siapa nama orang
tuanya, kakaknya, dan sebagainya. Anak mulai menyadari tentang apa yang
dilakukan seorang ibu dan apa yang diharapkan seorang ibu dari anak. Dengan kata lain, kemampuan untuk
menempatkan diri pada posisi orang lain juga mulai terbentuk pada tahap ini.
Kesadaran bahwa dunia sosial manusia berisikan banyak orang telah mulai
terbentuk. Sebagian dari orang tersebut merupakan orang-orang yang dianggap
penting bagi pembentukan dan bertahannya diri, yakni dari mana anak menyerap norma dan nilai. Bagi seorang anak, orang-orang ini disebut
orang-orang yang amat berarti (Significant other)
Tahap siap bertindak (Game Stage)
Peniruan
yang dilakukan sudah mulai berkurang dan digantikan oleh peran yang secara langsung dimainkan sendiri
dengan penuh kesadaran. Kemampuannya menempatkan diri pada posisi orang
lain pun meningkat sehingga memungkinkan adanya kemampuan bermain secara bersama-sama. Dia mulai
menyadari adanya tuntutan untuk membela keluarga
dan bekerja sama dengan teman-temannya. Pada tahap ini lawan berinteraksi
semakin banyak dan hubunganya semakin kompleks. Individu mulai berhubungan
dengan teman-teman sebaya di luar rumah. Peraturan-peraturan yang berlaku di
luar keluarganya secara bertahap juga mulai dipahami. Bersamaan dengan itu,
anak mulai menyadari bahwa ada norma
tertentu yang berlaku di luar keluarganya.
Tahap penerimaan norma kolektif (Generalized
Stage/Generalized other)
Pada tahap ini seseorang telah dianggap dewasa. Dia sudah dapat menempatkan dirinya pada
posisi masyarakat secara luas. Dengan kata lain, ia dapat bertenggang rasa
tidak hanya dengan orang-orang yang berinteraksi dengannya tapi juga dengan
masyarakat luas. Manusia dewasa menyadari pentingnya peraturan, kemampuan
bekerja sama bahkan dengan orang lain yang tidak dikenalnya secara mantap.
Manusia dengan perkembangan diri pada tahap ini telah menjadi warga masyarakat
dalam arti sepenuhnya.
b. Menurut Charles H. Cooley
Cooley lebih menekankan peranan interaksi dalam teorinya. Menurut dia, Konsep Diri (self concept) seseorang berkembang melalui interaksinya dengan orang lain. Sesuatu yang kemudian disebut looking-glass self terbentuk melalui tiga tahapan sebagai berikut.
- Kita membayangkan bagaimana kita di mata orang lain.
Seorang anak merasa dirinya sebagai anak yang paling hebat dan yang paling pintar karena sang anak memiliki prestasi di kelas dan selalu menang di berbagai lomba.
- Kita membayangkan bagaimana orang lain menilai kita.
Dengan pandangan bahwa si anak adalah anak yang hebat, sang anak membayangkan pandangan orang lain terhadapnya. Ia merasa orang lain selalu memuji dia, selalu percaya pada tindakannya. Perasaan ini bisa muncul dari perlakuan orang terhadap dirinya. MIsalnya, gurunya selalu mengikutsertakan dirinya dalam berbagai lomba atau orang tuanya selalu memamerkannya kepada orang lain. Ingatlah bahwa pandangan ini belum tentu benar. Sang anak mungkin merasa dirinya hebat padahal bila dibandingkan dengan orang lain, ia tidak ada apa-apanya. Perasaan hebat ini bisa jadi menurun kalau sang anak memperoleh informasi dari orang lain bahwa ada anak yang lebih hebat dari dia.
- Bagaimana perasaan kita sebagai akibat dari penilaian tersebut.
Dengan adanya penilaian bahwa sang anak adalah anak yang hebat, timbul perasaan bangga dan penuh percaya diri.
Ketiga tahapan di atas berkaitan erat dengan teori labeling, dimana seseorang akan berusaha memainkan peran sosial sesuai dengan apa penilaian orang terhadapnya. Jika seorang anak dicap "nakal", maka ada kemungkinan ia akan memainkan peran sebagai "anak nakal" sesuai dengan penilaian orang terhadapnya, walaupun penilaian itu belum tentu kebenarannya.
2. Enkulturasi adalah Proses penerusan
kebudayaan dari generasi yang satu kepada generasi berikutnya selama hidup
seseorang individu dimulai dari insttitusi keluarga terutama tokoh ibu. Individu berkembang dengan ketertarikan terhadap objek lain selain dirinya.
Dengan pemahaman situasi yang ditanamkan orang-orang dewasa disekitarnya
menurut kebudayaanya tempat individu tersebut tumbuh dewasa berkembangnya orientasi
yang bersifat lebih bersifat ruang, waktu, dan normatif. Menurut Ruth Benedict
suatu kepribadian dianggap bersifat normal apabila sesuai dengan tipe
kepribadian yang dominan, sedangkan tipe kepribadian yang sama jika sesuai
dengan tipe kepribadian dominan akan dianggap abnormal. Enkulturasi mengacu pada proses dengan mana kultur ditransmisikan dari generasi
satu ke generasi selanjutnya. Kita mempelajari budaya, bukan mewarisinya.
Kultur ditransmisikan melalui proses belajar, bukan dengan gen. Orang tua,
teman-teman, lembaga sekolah, dan pemerintahan adalah guru utama di bidang
kultur. Agar budaya terus berkembang, proses adaptasi perlu dilakukan.
Paradigma yang berkembang adalah budaya itu dinamis dan merupakan hasil proses
belajar. sehingga budaya suatu masyarakat tidak hadir dengan sendirinya. Proses
belajar dan mempelajari budaya sendiri dalam masyarakat itu dinamakan
Enkulturasi dan enkulturasi terjadi melalui mereka yang menyebabkan budaya
masyarakat tertentu bergerak dinamis mengikuti perkembangan jaman.
3. Akulturasi
Akulturasi mengacu pada proses dimana kultur
diperbaiki dan dimodifikasi melalui kontak atau pemaparan langsung dengan
kultur yang lain. Sebagai contoh, apabila ada sekelompok imigran yang kemudiam
menetap di Amerika Serikat (kultur tan rumah), maka kultur mereka sendiri akan
dipngaruhi oleh kultur Tuan rumah ini. Lama kelamaan, nilai, dan cara
berperilaku serta kepercayaan dari kultur tuan rumah ini akan menjadi bagian
dari kultur tuan rumah akan menjadi bagian dari kultur kelompok imigran itu.
Pada waktu yang sama, kultur tuan rumah pun ikut berubah. Sebuah masyarakat
yang cenderung sulit menerima hal hal baru dalam masyarakat sulit
mempertahankan budaya lama yang sudah tidak relevan lagi untuk disebut sebagai
akulturasi. Sebaliknya sebuah masyarakat yang cenderung sulit menerima hal hal
baru dalam masyarakat sulit mempertahankan budaya lama yang sudah tidak relevan
lagi untuk disebut sebagai akulturasi.
Perkembangan budaya sangat mempengaruhi terhadap pola asuh
serta perkembangan anak. Pola pengasuhan anak dapat dipengaruhi oleh budaya
yang berasal dari dalam maupun yang berasal dari luar. Kebudayaan yang berasal
dari dalam sebagai contohnya orangtua yang berasal dari Jawa akan mendidik anaknya dengan penuh
kelembutan, sopan santun, cara bicaranya tidak keras dan penuh dengan hormat.
Seiring berjalannya waktu, banyak kebudayaan luar (barat) yang masuk ke negara Indonesia telah
membawa dampak yang sangat besar bagi masyarakat. Budaya kita sebagai orang
timur dengan budaya barat sangatlah berbeda. Begitu juga dengan pola asuh yang
diterapkan orangtua kepada anaknya. Orang timur menerapkan pola asuh dengan
penuh kasih sayang, mengajarkan anaknya untuk hormat kepada siapapun,
mengajarkan cara berpakaian yang baik dan sopan, serta cara berbicara. Orangtua
mengajarkan semua kepada anaknya agar anaknya tahu apa yang boleh dilakukan dan
apa yang tidak boleh dilakukan.boleh dilakukan. Sedangkan orang barat
menerapkan pola asuh yang sangat berbeda, misalkan lebih mengutamakan diri
sendiri atau lebih bersifat individualis dan juga memiliki kebebasan tapi tidak
disertai dengan tanggung jawab. Ketika orang timur menikah dengan orang barat itu berarti mereka membawa
kebudayaannya masing-masing. Mereka harus menerapkan pola asuh yang benar agar perilaku anaknya sesuai dengan apa yang diharapkan dan itu harus
dimulai melalui orangtua. Ketika mereka menerapkan budaya barat saja tanpa
mengkombinasikan dengan budaya timur, si anak akan berperilaku sebagai orang
barat tanpa tahu bagaimana kebudayaan timur itu. Maka dari itu, sekarang banyak
anak-anak ataupun para remaja yang berperilaku
tidak sesuai dengan pola asuh yang sudah diterapkan sehingga nantinya
membentuk suatu kepribadian. Hal itu terjadi karena besarnya pengaruh dari
luar, seperti perempuan yang lebih banyak berpakaian rok mini, perempuan
merokok, bertatoo, pria memakai anting. Hal yang seperti itu masih belum dapat
diterima oleh budaya timur. Yang terpenting adalah bagaimana orangtua dapat
menerapkan pola asuh yang baik sehingga anaknya menjadi pribadi yang baik pula.
Sumber :
http://id.shvoong.com/law-and-politics/family-law/2245698-enkulturasi-dan-akulturasi
http://id.wikipedia.org/wiki/Sosialisasi